Ntah sudah berapa juta kata ia
tuliskan hanya demi memuja senja.
Ntah sudah berapa juta kali ia
agung-agungkan senja selagi tersenyum dengan jumawa.
Ntah sudah berapa ribu kali ia
diam-diam duduk dibalkon, hanya demi menunggui senja hingga adzan maghrib tiba.
Lalu ia turun tangga, tersenyum
layaknya tak ada hari esok yang akan ia jumpa.
Lagi-lagi ia berterimakasih kepada
senja.
Meski sebentar ia selalu dirindu.
Meski sebentar ia selalu dinanti.
Meski sebentar ia selalu diharap.
Kecuali jika mendung tiba, senja
tak mampu menampakan sinarnya.
Senja bilang bukan saatnya, mari
biarkan mendung menutupi sorotnya.
Lalu besok.
Dengan janji penuh harap, dengan
penantian penuh janji.
Senja akan tiba, lalu menyapanya
dengan lembut.
Kembali, diatas balkon itu lagi.
Dia dan senja akhirnya bertemu
lagi.
Bak dua orang yang tak lama
bertemu.
Dia bilang dia rindu. Padahal hanya
selang waktu beberapa lama.
Lalu ia bertemu senja lagi.
Mungkin ini cara tuhan.
Bahwa pertemuan yang tidak kontinyu
akan memupuk rindu yang lebih banyak.
Bahwa pertemuan yang singkat akan
lebih dirasa momentnya.
Lalu dia bilang dia rindu, dan
jatuh cinta pada semburat jingga milik senja.
Lalu sampai akhir hayatnya.
Balkon dan senja menjadi penutup
akhir terbaik hari-harinya hingga akhir hayatnya.
Seperti itu.