Jumat, 09 Januari 2015

Apalah arti secangkir Iced Frappe?


Lagi-lagi wanita bodoh itu memesan sesuatu yang sama untuk waktu yang cukup lama.

Lagi-lagi iced frappe ia sesap dengan jeda aroma sedetik.

Lagi-lagi ia duduk ditempat yang sama, dengan orang-orang yang sama, dibawah lampu temaram dan lilin kecil didepannya.

Siluet tampak jelas dari sudut bibirnya. Ia tersenyum.

Lagi-lagi iced frappe itu berhasil menjadi penghantar sabtu malam indahnya.

Lagi-lagi iced frappe ini berhasil membahagiakannya, dan membentuk satu sudut kecil dibibir merah muda pucatnya.

Layaknya sabtu malam-malam seperti biasa, wanita itu bersama tiga “partner” hidupnya.

Berbincang seolah malam-malam itu milik mereka, seolah kedai kopi itu milik mereka.

Membahas sesuatu yang tidak pernah penting.

Karena mereka sama-sama rindu akan kebersamaan.

Dengan secangkir kopi yang akan mereka sesap.

Dengan kecupan bibir di tiap-tiap sudut cangkir yang menandakan mereka saling mencicipi cangkir satu sama lain.

Ntah itu frappe atau latte, mereka semua tetap setia atas kopi masing-masing.

Lagi-lagi mereka rindu, tetapi mereka satu.

Tahun baru pertama, bagaimana?


Tahun baru pertama tanpa keluarga.

Dahulu, ketika kecil sibuk merengek untuk dibelikan terompet.

Ya, kami memang ratu merengek untuk masalah ini.

Membeli kembang api, mengitari kota tua bodoh itu sampai malam melolongpun tak juga paham arti riuhnya.

Dahulu, mobil sedan tua ayah menjadi rumah kedua, yang berjalan.

Akhir pekan menjadi surga “katanya”, karena masih bisa duduk mengobrol dan menjadi keluarga yang seutuhnya.

Dahulu, sekarang ayah dan sedan tuanya itu sudah terlalu sibuk.

Bahkan, aku sudah tidak seatap lagi bersama mereka.

Jadi, tahun baru ini tahun pertama pergantian tanpa mereka.

Padahal tidak keluar menjalani ritual seperti dahulu juga tak apa. Awalnya.

Tapi, sekarang berharap untuk berkumpul saja sudah berat.

Andai waktu bisa dibeli, mungkin harganya triliunan. Maka dari itu keluargaku tidak mampu membelinya.